PETA ANTIK KUNO


I. SEKILAS PETA

Peta merupakan petunjuk yang sangat penting hingga saat ini, namun peta kuno bukan sekedar penunjuk arah. Tepatnya peta kuno merupakan sebuah perpaduan antara seni, simbol dan petunjuk arah.

Peta pada dasarnya adalah penggambaran dua dimensi ( pada bidang datar ) dari sebagian atau keseluruhan muka bumi beserta isinya yang dilihat dari atas. Menurut definisi dari International Cartographic Association ( ICA ), peta adalah satu citra baku yang mewakili unsur-unsur atau ciri-ciri pilihan dari kenyataan geografis untuk maksud pemakaian dalam hal keterkaitan keruangan yang mempunyai peranan utama. Sedangkan menurut Klaas ( 1994 ) peta adalah hasil dari seleksi data dan seleksi dari berbagai kemungkinan visualisasi dengan memperhatikan kebutuhan dan karakteristik pemakai, tujuan dari komunikasi kartografis serta keterbatasan material/media yang dipakai.

James S. Aber dalam tulisannya yang berjudul Brief History of Maps and Cartography menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kartografi adalah seni dan ilmu pengetahuan dalam membuat peta ( Cartography is the art and science of making maps ).

Jelas bahwa di dalam peta terdapat unsur seni. Bila disimak secara seksama di dalam peta kuno sebagai karya budaya masa lalu memiliki nilai seni ( seni rupa ) yang tinggi. Unsur seni inilah yang menjadi daya tarik dan mengundang kekaguman banyak orang termasuk saya. Sebagai benda seni, peta kuno sering dipamerkan, dan diburu oleh para kolektor dengan harga yang mahal.

Tujuan dari pembuatan peta adalah untuk dapat mengetahui lokasi, menentukan arah ( terutama untuk pelayaran ), titik koordinat, jarak antara satu tempat dengan tempat lain, dan lain – lain. Biasanya ukurannya diperkecil dari aslinya dengan perbandingan tertentu.

Pada saat ini peta dibuat dengan mengandalkan perkembangan teknologi selain ilmu pengetahuan tentang pemetaan ( kartografi ) itu sendiri. Lain halnya dengan peta kuno ( jauh sebelum Masehi ) secara kartografis ada beberapa yang telah menampilkan teknik pemetaan dengan sangat baik meskipun masih sangat sederhana, yaitu sudah digambarkannya unsur-unsur gunung, sungai serta permukiman. Namun demikian, peta kuno kebanyakan dibuat dengan menggunakan tangan ( manuscript map ), penggambarannya sangat artistik, simbolik serta belum mengikuti kaidah-kaidah pemetaan. Walaupun begitu peta kuno lebih berkesan seni karena tampilannya yang sangat indah dan bebas.


Di dalam peta kuno tersimpan sejumlah informasi menarik untuk disimak dan dikaji, terutama dalam menelusuri sejarah masa lalu. Dari peta kuno kita dapat menelusuri sejarah letak, nama-nama pulau, tempat, kota, sungai, gunung, selat, laut di suatu wilayah, termasuk wilayah kepulauan di Nusantara. Penggambaran peta sampai pada abad ke-18 seringkali disertai dengan gambar-gambar, berupa kota, penduduk, monster, putri duyung, kapal, binatang-binatang, dan lain-lain yang dilukiskan dengan sangat indah. Demikian pula dengan kaligrafi dan pewarnaan yang dipakai. Peta pada masa itu mempunyai nilai seni di samping fungsi ilmiahnya. Salah satu contohnya adalah peta "Asia-Australia." Peta ini merupakan peta manuskrip yang dibuat oleh Jean Royz pada sekitar abad ke-16. Peta digambarkan dengan utara menghadap ke bawah, sehingga posisi peta terbalik. Dalam peta tersebut juga terlihat sekelompok orang, rumah, pohon-pohonan dan lain-lain yang dilukiskan secara indah. Di samping itu, peta ini juga menyampaikan informasi yang sangat penting yaitu terlihatnya Benua Australia yang hampir menyatu dengan Pulau Jawa, sehingga Pulau Jawa terlihat sebagai daratan yang sangat besar. Informasi ini mendukung teori bahwa yang menemukan Benua Australia bukanlah Belanda pada abad ke-17, tetapi Portugis di abad ke-16.

Peta pada zaman pertengahan ( 350-1470 ) juga banyak dipengaruhi oleh supernaturalisme. Contoh: Peta orbis terrarum = Whell Map = T in O, di mana permukaan bumi tidak digambarkan menurut keadaan yang sebenarnya tetapi mengikuti jalan pikiran dan imajinasi pembuat peta disertai perasaan artistik. Menurut Sukendra ( 2001 ) peta sampai pada abad pertengahan pemanfaatannya lebih sebagai nilai seni ( masterpiece ), penghargaan ataupun pesanan raja, dan lain-lain. Sedangkan pada saat ini peta sebagai produk yang dapat diakses dari internet dan dimanfaatkan langsung oleh masyarakat luas.

Mempelajari sejarah peta pada hakikatnya kita kembali ke masa prasejarah kehidupan manusia. Sejarah peta menggambarkan kemajuan peradaban manusia dalam memahami alam dan isinya, tentang ilmu matematika, dan teknologi yang sudah dikuasai manusia. Dari peta kita dapat memelajari perkembangan pemikiran manusia dari waktu ke waktu seperti tercermin dalam peta dari tahun demi tahun yang menunjukkan bukti semakin lama menjadi lebih baik dibanding masa sebelumnya atau bila dibandingkan antara karya seorang kartographer yang satu dengan karya lainnya.

Peta memiliki bentuk yang anekaragam mulai dari garis, lengkung, bulatan, setengah lingkaran, oval, segitiga, segi empat, kubus, hingga pada jajaran genjang. Untuk menggambarkan bumi dan isinya itu digunakan simbol-simbol dengan bentuk-bentuk tertentu, dan dari berbagai bentuk dan simbol itu setelah dipadu dengan berbagai ornamen dan warna membuat peta memiliki daya aristik tersendiri.

Warna pun demikian, beranekawarna dipadukan secara artistik menghasilkan bentuk dengan warna yang indah dan elok. Meskipun dalam warna “black and white”, namun sama sekali tidak mengurangi nilai seninya. Bila peta itu ditambah dengan berbagai hiasan mulai dari bagian bingkai, di bagian pinggir, sudut bahkan di tengah peta membuat peta memiliki daya tarik yang luar biasa. Hiasan tambahan itu berupa anekaragam gambar manusia, binatang, pohon, buah, kuil, gereja, mesjid, istana, peristiwa kelahiran, perkawinan, penobatan, perang, hingga pembunuhan dan kematian.

Seiring dengan perkembangan teknologi, peta berkembang dengan melibatkan berbagai teknologi terkini. Peta yang dulunya dapat dikatakan sangat ekspresif lama-kelamaan harus mengikuti kaidah-kaidah pemetaan yang telah disepakati bersama oleh kalangan kartograf sesuai dengan tujuan dan fungsi peta yang pada saat sekarang ini memang sangat beragam.

Terlepas dari nilai seni peta itu sendiri, saat ini peta sudah menjadi suatu kebutuhan yang sangat diperlukan bagi masyarakat terutama peta jalan ( road map ) dan peta lokasi, meskipun ini hanya merupakan contoh yang sangat sederhana sejalan dengan kebutuhan serta rutinitas sehari-hari. Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan peta yang semakin kompleks serta sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi, pembuatan peta benar-benar harus didukung oleh berbagai teknologi sesuai dengan tujuan pembuatan peta dan informasi yang akan disampaikan, sehingga peta berkembang menjadi sebuah produk yang sarat dengan teknologi baik berkenaan dengan metode produksi, penanganan data, juga model penyajian informasi. Terkait dengan isi yang akan disajikan pembuatan peta juga ditulangpunggungi oleh disiplin ilmu antara lain Geologi, Ilmu Tanah, Geomorfologi, Statistik dan lain-lain.

Menjelang akhir abad ke-20 teknologi survei udara, satelit navigasi dan satelit penginderaan jauh mempercepat dalam penyediaan data dasar. Selain itu, kemajuan teknologi komputer memberikan bentuk lain dalam hal penyajiannya, yaitu peta bukan hanya dalam bentuk tampilan nyata pada selembar kertas ( real maps ) tetapi juga dapat disimpan dalam bentuk digital dan disajikan pada layar monitor yang disebut peta maya ( virtual maps ).

Pada akhirnya peta yang awalnya sangat artistik seperti layaknya sebuah karya lukis yang mempunyai nilai seni sangat tinggi berkembang menjadi sebuah produk yang benar-benar sarat dengan teknologi mulai dari proses survei sampai pada tahap pembuatan serta penyajiannya sehingga mempunyai nilai aksesibilitas yang sangat tinggi.


II. SEKILAS NUSANTARA


Dalam tulisan ini nama wilayah yang terletak antara dua samodra ( Hindia dan Pasifik ) dan dua benua ( Australia dan Asia ) yang kini bernama ” Indonesia ” digunakan sebutan ” Nusantara ” karena nama Indonesia itu sendiri secara de facto dan de jure baru lahir pada tanggal 17 Agustus 1945. Oleh karena itu bila kita bicara peta kuno wilayah di dua benua itu lebih tepat bila menggunakan sebutan ”Nusantara”. Nama itu merupakan salah satu dari banyak sebutan yang disandangnya.

Bangsa China menyebut wilayah yang terdiri atas berbagai pulau yang bertebaran di wilayah ini dengan istilah “ Nan-hai ”, yang artinya Kepulauan Laut Selatan, karena China berada di belahan Utara. Bangsa India menyebut kepulauan ini juga berdasarkan letak dengan sebutan “ Dwipantara ”, yang terdiri atas kata “ dwipa ” yang berarti pulau dan antara yang berarti tebaran pula yang berdampingan berada di luar atau seberang wilayah India. Sementara itu, bangsa Arab karena lebih dulu mengenal bangsa Jawa maka menyebutnya dengan istilah “ Jaza’ir al Jawi ”. Lain lagi dengan bangsa Jepang, menyebutnya dengan nama “ To-Indo ” yang berarti Hindia Timur.

Bagi bangsa Eropa benua yang disebut Asia pada awalnya hanya sebatas pada daerah yang membentang antara Persia dan Tiongkok saja dengan sebutan “ Hindia ” ( didiami oleh bangsa Persia, Arab, India, dan Tiongkok ) Belakangan muncul sebutan Benua Asia Selatan. Benua ini dibagi dua. Untuk wilayah Asia bagian Selatan disebut Hindia Muka, dan untuk wilayah Asia Tenggara disebut Hindia Belakang, termasuk wilayah Nusantara. Selain itu wilayah ini juga mendapat sebutan lain “ Timur Jauh ” ( Far East ).

Khusus untuk wilayah Nusantara mendapat bermacam sebutan :
1. Kepulauan Hindia: Indische Archipel; Indian Archipelago; Archipel Indien;
2. Hindia Timur: Oost Indies; East Indies; Indies Orientalis;
3. Kepulauan Melayu: Malaysche Archipel; Malay Archipelago; L’Archipel Malais.
Bagi bangsa Portugis kepulauan yang bertaburan di wilayah Nusantara dijuluki
“ Bunga Angin ”.


Karena wilayah Nusantara menjadi jajahan bangsa Belanda, maka Belanda menciptakan nama tersendiri, yakni ” Nederlandsch-Indie ” atau Hindia Belanda. Selain itu juga muncul nama-nama yang lain. Eduard Douwes Dekker ( 1820 - 1887 ) yang populer dengan nama Multatuli, menyebut tanah air dgn nama “ Insulinde ”, yang berarti “ Kepulauan Hindia ”, tetapi nama ini tidak begitu populer. Tahun 1920-an , Ernest Francois Eugene Douwes Dekker ( 1879 - 1950 ), yang dikenal sebagai Dr. Setiadi ( cucu dari adik Multatuli ), memperkenalkan suatu nama yg tidak mengandung unsur kata “ Indie “, yakni Nusantara, suatu istilah yang diambil dari buku Pararaton pada zaman Majapahit ”Nusantara” untuk menyebut “pulau-pulau di luar Jawa” sebagai lawan dari Jawadwipa ( Pulau Jawa ), seperti disebut dalam Sumpah Palapa dari Gajah Mada : " Lamun huwus kalah nuswantara, isun amukti palapa" ( Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat ).

Bagaimana sejarah nama ”Indonesia”? Pada tahun 1847 di Singapura terbit majalah ilmiah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia ( JIAEA ), yg dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 - 1869 ). Tahun 1849 , George Samuel Windsor Earl ( 1813 - 1865 ), seorang antropolog (?) dari Inggris menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Vol.IV/ 1850 , hal. 66-74, dengan judul: “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations” , Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ( Yunani: nesos berarti pulau ) bagi Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu. Earl memilih nama Malayunesia ( Kepulauan Melayu ) daripada Indunesia ( Kepulauan Hindia ), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ( Srilanka ) dan Maldives ( Maladewa ).

Dalam JIAEA Volume IV (hal. 252-347), James Richardson Logan menulis artikel TheEthnology of the Indian Archipelago, dan menyatakan nama "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan, lalu memungut nama “ Indunesia ” yang dibuang Earl, dan mengganti huruf ”u” dgn huruf ”o”, menjadi Indonesia. Tahun 1884 Adolf Bastian ( 1826 - 1905 ) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ( 5 volume ). Buku Bastian yang mempopulerkan istilah "Indonesia" banyak dibaca di kalangan sarjana Belanda, sehingga timbul anggapan bahwa pencipta istilah " Indonesia " adalah Bastian. Seperti dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918 nama Bastian sebagai pencipta tercantum di sana.

Orang Indonesia pertama yang menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ), yakni ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 , mendirikan biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Selanjutnya Prof Cornelis van Vollenhoven (1917), memperkenalkan Indonesisch ( Indonesia ) sebagai pengganti ”Indisch” (Hindia), dan ”inlander” (pribumi) diganti dengan ”Indonesiër” (orang Indonesia). Tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta (studi di Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam , organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia-Belanda Indische Vereeniging ( 1908 ), berubah menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Disusul kemudian oleh Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club ( 1924 ), dan pada tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti menjadi Partai Komunis Indonesia ( PKI ). Tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan dengan nama Nationaal Indonesische Padvindeij ( Natipij ).

Setelah dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia, 28/10/1928 yang lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda , nama "Indonesia" menjadi semakin populer dan menjadi “motor penggerak” semangat menjadikan bangsa baru yang merdeka. Langkah berani dilakukan oleh 3 orang anggota Volksraad ( MH Thamrin , Wiwoho Purbohadidjojo , dan Sutardjo Kartohadikusumo ), pada sidang bulan Agustus 1939 mengajukan mosi agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie“, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Belanda. Tgl. 8 Maret 1942 , Jepang datang menggantikan penjajah Belanda dan sejak saat itu lenyaplah nama ” Hindia Belanda “ dan sebutan Indonesia semakin populer.

Puncak kepopuleran nama Indonesia dicapai setelah tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan diri menjadi bangsa merdeka. Sejak saat itu secara de facto dan de jure lahirlah negara, bangsa dan wilayah, dengan nama “ Indonesia ” Berubahlah peta Nusantara menjadi peta Indonesia.


III. NUSANTARA DALAM PETA

Pada awalnya, Nusantara dalam peta hanya sebatas pulau yang dikenal oleh para penjelajah atau Kartografer. Peta dibuat atas dasar imajinasi para pembuatnya, sehingga tata letak tidak sesuai dengan kenyataan. Semakin berkembangnya ilmu astronomi sebagai bagian dari ilmu navifasi, dan ditemukannya beberapa peralatan seperti teropong, trianggulasi dan theodolit, gambar peta kepulauan Nusantara makin berkembang lihat peta-peta: Paolo Toscanelli (1474); The Loan Globe (1493); Bartholomew Columbus/ Alessandro Zorzi (1500); Giovanni Contarini (1506); Johann Ruysch (1507); Martin Waldseemüller (1507 dan 1513); Lorenz Fries (1522); Oronsi Fine (1534); Sebastian Műster (1540); Giacomo Gastaldi (1548); GB Ramusio (1554); Gerard Mercator (1569); Abraham OrtelusS (1570); Girolamo Olgiato (1570); Linschoten (1595); Willem Lodewijcksz (1598); Herrera (1601); Theodore de Bry (1602); Jodocus Hondicus (1606); John Speed (1627); Blaeu (1635); Antonio Sanches (1641); C. .Morisot (1643); Melchisedech Thevenot (1664); Dudley (1665); dan da Vignola/Rossi (1688).

Dari peta – peta kuno dapat dilihat bahwa letak Geografis Kepulauan Nusantara dengan penyebaran pulau – pulau dan perairan yang lebih luas daripada wilayah daratan maka sudah selayaknya dalam memandang Kepulauan Nusantara harus berdasarkan pada Pengetahuan Geopolitik ( Geopolitik adalah pengetahuan tentang keadaan, pengetahuan tentang segala sesuatu yang berhubungan Geografishe Constellatie dari suatu Negara ).

Dari pengamatan sekilas tentang posisi Nusantara dalam peta-peta kuno dapat dicatat hal-hal sebagai berikut :

1. Pulau Jawa adalah pula yang paling tua atau yang pertama dikenal oleh pembuat peta sehingga masuk dalam peta dunia. Berdasarkan pengamatan berdasarkan angka tahun pembuatan peta, nama P. Jawa ( Java ) telah tercantum dalam peta karya Paolo Toscanelli tahun 1474, dengan sebuatan Java Major. Ini berarti merupakan peta yang lebih tua bila dibandingkan dengan kesimpulan Rini, S.Si dan Drs. Junaidi Ismail yang menyatakan bahwa peta yang dibuat oleh Fransesco Rosselli tahun 1492-1493 untuk pertama kali membuat peta dunia yang menggambarkan Java.

Pulau Jawa disebut sebagai Java Major, sedangkan sebutan Java Minor diberikan kepada P. Sumatra. Tetapi dalam kenyataan P. Jawa lebih kecil dibandingkan dengan p. Sumatra, mengapa disebut minor? Ternyata para pembuat peta beranggapan P. Jawa menyatu dengan pulau di sebelah selatannya. Belakangan baru diketahui bahwa benua Australia yang disangka menyatu dengan P. Jawa merupakan benua tersendiri, terpisah dari P. Jawa. Bila peta demi peta kita perhatikan, maka mengenai tata letak Java Major dan Minor tampak aneh, yakni berjauhan satu sama lain. Misalnya dalam peta yang dibuat oleh Lorenz Fries (1522), di antara kedua pulau itu disela oleh 3 pulau, yakni P. ANGAMA, P. NECURA dan P. PEUTAM.

3. Dalam peta yang dibuat oleh SEBASTIAN MÜNSTER (1540), terjadi perubahan mendasar, sebagai koreksi atas kesalahan dalam penyebutan P. Sumatra, atau lengkapnya disebut Taprobana Sumatra. Ini berarti untuk pertama kali muncul nama P. Sumatra dalam peta. Yang unik, dengan perubahan nama Java Minor untuk menyebut P. Sumatra berubah menjadi Taprobana Sumatra, sebutan Java Minor bergeser untuk menyebut P. Borneo. Kata Borneo sendiri sebenarnya sudah tampak muncul sejak tahun 1534 (6 tahun sebelumnya), yakni terlihat pada peta yang dibuat oleh Oronsi Fine. Dalam peta Oronsi inilahu ntuk pertama kali disebut nama BUNEI. Mungkin yang dimaksud adalah Brunei yang kemudian berubah menjadi BORNEO.

3. Tentang pulau Sumatra itu sendiri memiliki cerita lain yang menarik. Para pembuat peta pada awalnya menandai pulau Sumatra dengan nama Taprobana saja. Belakangan baru diketahui, bahwa pulau yang diberi nama Taprobana itu ternyata salah. Nama itu sebenarnya untuk menyebut pulau Ceylon (Srilanka). Kesalahan seperti ini terjadi pada beberapa peta yang lain. Tampaknya kekeliruan dalam penyebutan P. Ceylon tidak hanya terjadi dengan P. Sumatra, tetapi juga dikacaukan dengan pulau Borneo. Hal ini terjadi karena di mata penjelajah terdapat kemiripan bentuk antara keduanya, seperti terlihat dalam gambar ini.

Tentang pulau Borneo, dalam peta GB RAMUSIO (1554), tertulis nama IAVA MENORE = P. Borneo di samping IAVA MAGIORE = P. Jawa. Sebelumnyanama IAVA MENORE untuk menyebut pulau Sumatra, yang kini berubah menjadi Sumatra PROBANA. Ada dua hal yang menarik dari peta RAMUSIO ini: (1) di dalam peta itu sudah tertulis kata “ Borneo ”; dan (2) tidak seperti seperti peta yang lain, arah utara terletak di bagian atas kertas/kain/kulit, tetapi peta ini dibuat dengan menempatkan arah Selatan di bagian atas (terbalik).

4. Dalam perkembangan selanjutnya peta Nusantara semakin jelas. Dalam peta yang dibuat oleh Gerard Mercator (1569), P. Jawa masih ditulis “IAUA MAIOR”, tetapi untuk p. Sumatra ditulis “Sumatra Olim”, tanpa kata Taprobana maupun Probana. Jauh sebelum itu (1544) Munster sebenarnya sudah tidak menyebut p. Sumatra dengan nama SAMOTRA TAPROBANA. Disusul tahun 1548 , Giacomo Gastaldi sudah tidak menyebut p. Sumatra dengan IAVA MINOR atau Taprobana Sumatra atau Sumatra Probana, atau Sumatra Olim, atau SAMOTRA TAPROBANA tetapi dengan nama “CAMATRA”.

5. Kepulauan Sunda Kecil mulai tampak dalam peta G. Mercator (1569). Dalam peta karya Francisco Rodriges (1513), nama-nama pula yang disebut adalah: Bllaram (Bali), Lomboquo (Lombok), Ssimbaua (Sumbawa), Aramaram (Tambora). Selain disebut Bllaram pulau Bali juga disebut Vale (Otelius/1570); Balle (Petrus Plancius/1594); Galle (Linschoten/1595);Bali (Willem Lodewijcksz/1598) dan Yubali (Antonio Sanchez/1641). Sementara itu untuk nama p Sumabawa selain disebut Ssimbaua disebut pula Cambaba (Otelius/1570); Cimbiaya (Petrus Plancius/1594); dan Çambawa (Willem Lodewijcksz/1598). Nagian yang menarik dari peta Sunda Kecil adalah dipakainya nama Java Minor untuk menyebut pulau Lombok setelah nama itu dipakai untuk menyebut p. Sumatra dan Borneo (lihat peta Linschoten (1595) dan peta Dudley (1665).

6. Pulau Sulawesi ( Celebes) mulai tampak dalam peta tahun 1554, yakni dalam peta karya GB Ramusio, dan belum menyebut nama tempat.Mulai dengan peta G. Mercator (1569) tertulis 4 nama tempat: Tuban, Supa, Mamoro, Manado. Dalam peta Antonio Sanchez (1641) nama Celebes disebutnya Felebes tanma nama tempat. Tetapi dalam peta Petrus Plancius (1594) justru telah menyebut beberapa nama tempat antara lain: Tetoli (Toli-toli); Durati; Mamayo; Saies; Curi-curi; Manatares; Mandar; Ciem; Portugal; Supa; Malisi; Paquer; Tuban.

7. Kepulauan Maluku dikenal oleh bangsa Potugis datang tahun 1511. Mereka menyebutnya “Moluccas”, juga “Spice Island”, nama Spanyol “Molucos”, dan bangsa Arab menyebutnya Jazirat-al-Muluk. Dalam peta yang dibuat oleh Willem BLAEU tahun 1642, kepulauan Maluku seperti dalam gambar di bawah ini.

Tetapi jauh sebelum itu sudah ada pembuat peta yang lain, yakni Diogo Homen (1558 ) telah berhasil menyusun peta dengan tata letak yang lebih jelas. Peta itu kini disimpan di British Museum. Pulau Ambon digambarkan oleh sejarawan Vaxelaire sebagai “ the bank vault of the East Indian ocean” . ketika sedang musim panen pala. Gambaran tentang kehidupan masyarakat Maluku pada abad 16 dikisahkan dalam surat Xavier sebagai berikut: “ The people of this islands are very barbarous and full of treachery. More brown than black, they are extremely unpleasant race. There are islands here where they eat another. This happens when they are at war among themselves and kill each other in battle, though not otherwise.... ” .

8. Pada tahun 1570 Ortelus membuat peta yang menggambarkan pulau Papua. Dalam kedua petanya ia melukiskan beberapa pulau pantai barat New Guenea ( Papua ), sebuah pulau yang diberi nama Cainan. Pulau ini menjadi perhubung dengan New Guenea. Pada tahun 1526 bangsa Portugis bernama Jorge de Menzes, dari Halmahera terbaru angin dan mendarat di Papua. Kemudian 2 tahun kemudian Saavedra mendarat di Papua. Dari Urdaneta dia menulis: “in the course of the voyage (they) were anchored because of contrary winds ar some islands with negroes they call Papias....” Dalam penggambaran pulau Papua pada awalnya disangjka bersatu dengan benua Autralia. Dalam peta Linschoten (1595), pulau ini justru digambar amat kecil, lebih kecil dari p. Sulawesi, tetapi terpisah dari benua Australia.



IV. KOLONIALISME DIMULAI DARI SEBUAH PETA

Kolonialisme dimulai dari sebuah peta. Dari sebuah gambaran penuh dengan simbol, arah navigasi ditentukan dan sebuah sasaran yang ditargetkan. Sementara kita duduk dibangku sekolah dasar, kita mengenal nama Cornelis de Houtman , orang Belanda pertama yang bersauh di Jawa. Sepanjang kita mempelajari Sejarah Indonesia dan bahkan para sejarahwan Indonesia sangat sedikit yang mengenal nama Jan Huygen van Linschoten. Padahal tanpa tokoh itu, mungkin negara kita yang belakang dikenal dengan nama Indonesia tak terlalu terburu – buru dijajah.

Thomas Suarez yang menulis Early Mapping of Southeast Asia, secara menarik mengulas sejarah peta kuno Asia, terutama tentang pemetaan kawasan Asia Tenggara pada abad 16. Peta – peta kuno Asia Tenggara mempunyai beberapa karakteristik yang menarik karena banyak mengandung improvisasi yang berbeda dengan Peta kuno Eropa yang banyak detilnya. Kebanyakan peta – peta kuno ini berasal dari Eropa. Peta – peta itu mewakili masyarakat Eropa yang memahami sebuah wilayah asing dan tidak dianggap sebagai sebuah kawasan khusus.

Sesuai dengan fungsinya, peta – peta tersebut membantu mempercepat masuknya bangsa Eropa ke wilayah – wilayah Non Eropa. Lewat peta itu bangsa Eropa memberitakan kekayaan bangsa Asia Tenggara untuk mengundang pelaku Kolonialisme lain ataupun penanam modal.

Diantara negara – negara Eropa, Negara Portugal mempunyai keinginan untuk membuktikan kebenaran cerita tadi. Setelah menaklukan Malaka ( 1511 ), Alfonso de Albuquerque meneruskan pelayarannya menuju kepulauan di Asia Tenggara dengan tiga kapal. Dalam ekspedisi tersebut salah satu kapal secara tak sengaja menabrak kapal karam di perairan Banda. Mereka terdampar, penduduk setempat dengan ramah menolong mereka dan menjual Pala dengan harga yang sangat murah.

Dari situlah semua bermula, rempah – rempah yang semula harus didapat bangsa Eropa melalui beberapa tangan yaitu pedagang Melayu, Cina dan Arab dengan harga ribuan kali lipat, ternyata dapat diperoleh dengan begitu murah. Bau harum semerbak pun segera memenuhi udara Eropa, membuat bangsa – bangsa Pelaut lain tertarik untuk datang. Belanda negara yang terhitung paling muda dibandingkan dengan Spanyol, Portugal dan Inggris ingin juga turut dalam persaingan meluaskan tanah jajahan. Pada tahun 1595 Kerajaan Belanda memberi kepercayaan kepada Maskapai Dagang Hindia Belanda ( VOC ) untuk mulai misi ke Timur.

Duyfken ( Merpati Kecil ) adalah salah satu kapal layar kecil penunjuk jalan yang dikirim untuk mengarungi Samudera menuju Kepulauan Banda sehingga masuk dalam percaturan politik International abad – 17. Selama sembilan bulan Duyfken melakukan pelayarannya, dimulai dari Pelabuhan Fremantle, Australia Barat, lalu menyisir perairan Barat Australia ke Pulau Sumbawa, Pulau Banda, Port Moresby dan berakhir di Cairns Australia.

Bagaimanapun, ekspedisi masa lalu ke Timur merupakan kisah para petualang Eropa abad 15 – 17 yang berupaya memetakan wilayah Nusantara. Sebuah pemetaan yang penuh kesalahan dan tidak akurat yang menjadi panduan para Kolonialis untuk menemukan sumber rempah – rempah. Mereka menyebut Banda sebagai “ Kepualauan Buah Surga “.

Berbagai informasi yang diuraikan di atas baru sebagian kecil dari kekayaan informasi yang dimiliki oleh peta kuno. Jumlah peta yang dsimak juga masih terbatas. Oleh karena itu ada langkah kongret dari para ahli untuk menggali “misteri ” yang dimiliki oleh peta kuno, terutama dalam mencari sumber rujukan dalam memebrikan nama-nama pulau terluar yang belum memiliki nama.

Dalam kaitan dengan penyebutan nama-nama pulau di wilayah Nusantara di dalam peta kuno dapat dijadikan data untuk memperkaya penyusunan sejarah perjalanan bangsa. Berbagai data itu ditindaklanjuti dengan berbagai penelitian lanjutan, sehingga dapat dijadikan rujukan untuk memetakan wilayah Indonesia secara benar dan akurat terutama berkenaan dengan masalah batas wilayah dengan negara tetangga, serta wilayah administrasi pemerintahan.

Selain itu, peta kuno perlu diperkenalkan kepada generasi muda karena peta kuno memiliki potensi seni yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan apresiasi seni masyarakat. Melalui pendekatan ini di dalam diri generasi muda akan tumbuh kesadaran sejarah bangsanya yang pada gilirannya akan menumbuhkan rasa kebanggaan nasional, memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, memperkukuh jati diri bangsa dan cinta Tanah Air.

Demikian beberapa catatan dari pengamatan peta kuno dari kacamata awam bagi kepentingan pengembangan ilmu perpetaan, sejarah, matematik, dan menumbuhkan jatidiri bangsa serta kebanggaan nasional. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

Read more...